Apakah anak cucu kita masih bisa melihat ini?



Apakah anak cucu kita masih bisa melihat ini?
Bukit Moko

“Kesombongan itu seperti kita naik gunung, kita melihat orang lain kecil, tapi jangan lupa pula bahwa orang lain juga melihat kita sama kecil,” entah kenapa gue lebih memilih kata-kata itu untuk mewakili trip gue kali ini. gue lupa darimana kata itu berasal, tiba-tiba saja melintas ke kepala gue.

Kali ini gue bakalan bercerita tentang trip gue pada 25 Juni 2016, perjalanan ke Bukit Moko.
Salah satu hobi gue dalam mengisi kekosongan adalah dengan menstalk ig nya para traveller. Mulai dari @explorebandung. @explorebandungbarat, @exploretangerang, @explorebanten, @indotraveller dan lain sebagainya. Gue merasa terpanggil untuk melakukan trip trip keren seperti yang mereka alami (panggilan jiwa). Sejenak ketika gue sedang ngepoin akunnya @explorebandung, gue melihat foto yang menurut gue keren, berlokasi di daerah bukit moko. Owh, dalam kepala gue yang berkapasitas minim, gue berpikir kalau gue harus ke sana.
Keinginan tersebut tentunya tidak akan gue pendem sendirian, karena sungguh egois kalau gue memedam suatu perasaan sendirian :V. Gue bercerita kepada temen2 gue, Viko, Didit, Azul dan Obos. Tanggapan mereka pun cukup bagus dan darisana gue tau kalau untuk menuju ke sana diperlukan waktu kurang lebih satu jam. oia salah satu alasan kenapa gue ingin sekali ke Bukit Moko adalah bahwa gue ingin melihat sunrise di sana, salah satu fenomena keindahan tuhan. Oke, semangat gue semakin membara. Tanpa perlu basa-basi, besoknya langsung gue ajak mereka. Gue ngechat lewat akun line, dan jawaban yg gue dapat, “tiris ih”, “dinginnnn”, dan chat chat yang sejenisnya -_-. Hanya satu orang yang siap, Azul. Oke walaupun cuma berdua, kita tetep caw.
Kampret gue dikatain kayak mamang villa :V

Perjalanan kami dimulai setelah sholat subuh, sekitar jam 5 kurang beberapa menit (walaupun niatnya diawal kita berangkat jam 4 hehe). Dalam pelukan sang malaM, langit yg masih gelap, angin penggoda yang membelai kulit, kami tetap berangkat. Niat kita waktu itu, ingin melihat sunrise.
"Melompat, lepaskan pelukan gravitasi bumi"

Walaupun kita emang belum pernah ke Bukit Moko sebelumnya, tapi bukan berarti kita seperti dua orang bodoh yang nekat, tentu saja kita memakai GPS, teknologi peta modern. Nah, salahnya gue, gue lupa pesen temen gue, kalau ke sana enaknya lewat Caheum, eh gue malah lewat jalan yang lainnya, jalan yang dulu pernah gue lewati kala pergi ke Tebing Keraton.
Perjalanan kami tidak semulus kulitnya Pevita Pearce, perjalanan ini dihiasi tanjakan yang diselingi dengan bebatuan-bebatuan gunung. Sungguh tragis sekali perjuangan si hitam manis dalam menemani trip gue, gue jadi semakin cinta. Perjalanan ini terjadi ketika bulan puasa lho, tapi bukan berarti kita memakai rukhsah, karena kami lelaki tangguh.
Setelah sejam lamanya berkutat dengan tanjakan bebatuan, dan sempat pula kami salah jalan, akhirnya kami sampai di tempat yang dilabeli dengan Bukit Bintang, tempat yang apabila malam hari kita dapat melihat the light of city. Kami membeli tiket seharga Rp 12.000,- per orang dan langsung mendaki ke atas, dengan niat yang masih sama, ingin melihat sunrise. 
Welcome to patahan lembang

Salah satu kesalahan gue dalam trip kali ini adalah, lebih mendahulukan nafsu daripada akal. Maksudnya, gue hanya ingin berfoto di sana tanpa terlebih dahulu mencari tau rute perjalanan yang akan kami hadapi. Yup, ternyata kita harus mendaki selama kurang lebih satu jam lamanya, tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam setiap langkah, kita tidak boleh menyesal, karena setiap kita melangkah kita melihat banyak anugerah tuhan yang telah kami hiraukan. Nikmatnya kaki yang sehat, hidung yang masih bisa bernfas, nikmatnyan penglihatan, dan tentunya nikmat teman yang Sang Pencipta hadirkan.
“Kita menanam, maka kita akan menuai,” yup, perjalanan ini tentunya menghadiahkan gue suatu nikmat lain. Ketika kita berada di puncak, terpampang keindahan ciptaaan Sang Maha Kuasa. Allahuakbar. Di kala seperti ini, terjadi obrolan ringan antara gue dan Azul. Intinya adalah “apakah anak cucu kita kelak masih bisa merasakan keindahan alam seperti ini?”
"Darisini kau terlihat kecil bung!"
Kita berfoto-foto di sana. Banyak pose-pose yang alay yang gue tunjukan, entah kenapa sisi gue yang alay mendominasi. Setelah puas,kami menuju bukit bintang dan berfoto-foto di sana, hanya sedikit. Nah ini juga kesalahan gue, tidak mempersiapkan masalah baterai sebelumnya. 
Beda gaya antara si biru dan si merah
"Dua aja udah cukup koq wkwkw"
"cia elah gocap doang :v"
Kami mengakhiri trip kami sekitar jam setengah sebelas, dan itu sudah berada di kosan kita masing-masing. Kami pulang melewati rute caheum dan emang mulus sekali, lumayanlah daripada yang awal.  Salah satu pesan yang gue dapet dalam trip kali ini adalah bahwa kesombongan tidak ada gunanya bagi makhluk lemah bernama manusia.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar